![]() |
Zufriady, S.Sn., M.Pd Mahasiswa Doktoral Universitas Riau |
Seputardosen.com. Indonesia dengan kekayaan budaya yang sangat banyak perlu untuk dipertahankan dan dilestarikan dengan berbagai cara dan metode seperti pendidik, lembaga adat dan tokoh masyarakat adat kepada generasi muda sekarang ini. Kemajuan teknologi yang dewasa ini menjadi kegelisahan kita terhadap perkembangan generasi muda yang tidak lagi mengenal budaya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang begitu banyak dirasa perlu untuk di kenal mereka. Masuknya budaya asing pada masa globalisasi yang begitu pesat ini perlu sadari kita sadari dengan cepat karena budaya melayu ini akan segera memudar dan bahkan bisa hilang.
Pemerintah telah berupaya dalam mempertahankan dan melestarikan budaya seperti di dunia pendidikan dengan kurikulum yang menekankan kepada penanaman nilai budaya dan kearifan lokal dengan istilah literasi budaya. Literasi budaya sangat penting untuk ditanamkan pada generasi muda di era revolusi 4.0 karena pada generasi millennial globalisasi sangat cepat mempengaruhi mereka, generasi muda sangat rentan terhadap perubahan yang begitu cepat bahkan mampu menghapus jejak budaya yang ada. Mereka memiliki pengetahuan yang sangat sedikit tentang budaya, sementara negara mereka sangat kaya akan budaya yang belum dieksplorasi dan dipelajari (Safitri & Ramadan, 2022).
Setiap daerah memiliki suku, adat, agama, kesenian dan kearifan lokal lainnya, sehingga perlu disikapi dengan hati-hati dalam menyikapi trend abad 21 ini, nilai-nilai luhur dalam masyarakat perlu ditanamkan kepada generasi muda dengan baik agar jati diri mereka tetap terjaga. dan identitas dapat terjaga dengan baik. Jati diri dan identitas diri sebagai wujud karakter generasi muda yang memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan negara (Hartono et al., 2022) Melalui pembelajaran seni budaya mampu menanamkan nilai-nilai karakter dari budaya untuk mempersiapkan mereka kelak sebagai manusia-manusia yang mempunyai identitas diri, sekaligus menuntun anak untuk menjadi manusia berbudi pekerti, melalui pembelajaran, pembiasaan dan keteladanan.
Guru sebagai ujung tombak dalam pelestarian dan penanaman nilai-nilai budaya ini semestinya memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengajarkannya kepada anak peserta didik. Dari asal observasi dan pengamatan penulis terhadap guru kelas di sekolah dasar dalam hal pembelajaran seni budaya, mereka merupakan guru kelas yang mengampuh beberapa bidang limu sekaligus dalam mengajar, mereka umumnya beranggapan bahwa pembelajaran seni ini perlunya guru khusus yang mengajarkan seni budaya karena tidak mengerti seni budaya dan pembelajaran seni budaya itu sulit apalagi mengajar seni musik dan seni tari. Tanggapan dan pandangan ini merupakan hal yang keliru, karena sebagai guru SD mesti mampu mengajarkan seni budaya kepada anak didiknya. Sebagai seorang pengajar seni dan budaya di PGSD FKIP Universitas Riau, penulis sering berpesan bahwa “jika bukan kita sebagai guru yang mengajarkan seni budaya ini, lalu siapa lagi, maukah kalian melihat budaya kita yang begitu kaya ini menjadi hilang, dan maukah kalian jika anak didik kita kehilangan jati dirinya yang tidak memiliki nilai-nilai kearifal yang begitu baik ini?”
Pertanyaan lain yang juga ditanyakan kepada calon guru PGSD “memangnya kalian sudah ahli matematika, ahli IPA, Ahli IPS, Ahli Bahasa, dan tidak ahli seni budaya?” dan penulis kembali menyadarkan bahwa kita sebagai seorang guru di SD mesti mempelajari semua bidang ilmu, kita tidak mesti menjadi ahli dan kemampuan yang tinggi mengajarkan seni budaya, memang benar pembelajaran seni budaya di SD itu untuk mengapresiasi dan berkreasi. Jika tidak mampu mengajarkan seni dengan berkreasi karena kita bukan spesialisasi guru seni, maka ajarkanlah pembelajaran seni melalui apresiasi seni agar anak mampu mengenal budayanya lebih mendalam, karena memberikan apresiasi seni kepada anak tidak memerlukan keahlian sebagai serang seniman ataupun pekerja seni budaya.