
Diprakarsai oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Nadiem Makarim, kebijakan MBKM terdiri dari empat kebijakan, yaitu
(1) memberikan keleluasaan kepada perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan
tinggi swasta (PTS) untuk membuka kurikulum baru; (2) program reakreditasi
otomatis untuk semua tingkatan dan sukarela untuk perguruan tinggi dan program
yang siap untuk ditingkatkan; (3) memungkinkan PTN dan satuan kerja
penyelenggara pelayanan publik menjadi PTN yang berbadan hukum; dan (4)
memberikan wewenang kepada mahasiswa untuk mengikuti ekstrakurikuler dan
pemberian kredit semester (Dirjen Dikti, 2020).
Dari keempat kebijakan MBKM tersebut, implementasi MBKM di
perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta mengalami dinamika
kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan. Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya dinamika tersebut yaitu dukungan anggaran yang belum
memadai, karena beberapa Perguruan Tinggi Swasta bahkan belum memiliki sarana
dan prasarana, seperti teknologi informasi yang sangat dibutuhkan dalam
pelaksanaan kegiatan MBKM.
Dede Yusuf, wakil ketua komisi X Republik Indonesia mengatakan
bahwa dari 3.128 Perguruan tinggi Swasta di Indonesia, sekitar 90 persen
diantaranya dalam keadaan tidak sehat dan mengalami kesulitan dalam menjalankan
operasional. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menggabungkan universitas.
Perguruan tinggi swasta yang tidak sehat bergabung dengan perguruan tinggi
swasta yang sehat. Namun, masalah baru ditemukan selama penggabungan, yaitu
terjadi disparitas antara perguruan tinggi swasta dan perguruan tinggi negeri.
Beberapa garis besar kondisi permasalah perguruan tinggi
swasta adalah: (1) terjadinya dikotomi antara Perguruan Tinggi Swasta dan Perguruan
Tinggi Negeri terlihat dari pola belanja pemerintah, khususnya di Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Saran dan dukungan
yang dialokasikan untuk universitas swasta kurang dari 6% dari anggaran.
Perguruan tinggi negeri saat ini menerima sekitar 94% dari total anggaran. Mengingat
Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta memiliki tanggung jawab
yang sama untuk meningkatkan partisipasi perguruan tinggi; (2) masalah
kualitas. Perguruan Tinggi Swasta saat ini
mendidik 72% mahasiswanya, sehingga
kualitas harus lebih diperhatikan, 9% dosen masih menempuh pendidikan
S-1 dan sekitar 50% dosen berstatus sementara atau memiliki dua organisasi atau
lebih (Dede, 2022); (3) masalah relevansi. Dunia industri membutuhkan lebih
banyak lulusan teknik untuk bekerja di bidang manufaktur. Namun, universitas
sebenarnya menawarkan banyak
pendidikan sosial; dan (4)
masalah persaingan antar universitas.
Dari permasalahan-permasalahan yang
dialami oleh Perguruan Tinggi Swasta tersebut, tentu berdampak pada
implementasi MBKM. Beberapa kendala PTS dalam melaksanakan kegiatan MBKM antara
lain :
Pertama, mekanisme kerjasama Perguruan Tinggi Swasta dengan Lembaga Eksternal. Pada tataran teknis di lapangan, salah satu syarat kerjasama antara perguruan tinggi swasta dengan pihak luar (perusahaan jasa, industri, komunitas, perguruan tinggi lain, pemerintah dan badan swasta) adalah menimbulkan kebingungan pada pelaksanaannya. Bagi perguruan tinggi swasta besar, ini bukan masalah besar, tetapi untuk perguruan tinggi swasta yang lebih kecil, mandat ini menimbulkan masalah tersendiri. Pemerintah perlu mempertimbangkan masalah ini dan mencari solusi serta regulasi mekanisme kerjasama yang memudahkan perguruan tinggi swasta kecil menjalin hubungan kerjasama dengan institusi dan perguruan tinggi besar. Perguruan tinggi swasta yang lebih kecil dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang terbatas, terutama yang terletak di lokasi geografis yang terpencil, dapat berkolaborasi dengan institusi yang lebih besar dan universitas besar untuk meningkatkan pengembangan akademik dan pengalaman mahasiswa. Tanpa mekanisme yang jelas dan visi bersama antara kementerian pendidikan dan kementerian lain, kebijakan ini, yang seharusnya baik hanya dari perspektif regulasi, menyebabkan masalah pada tataran teknis di lapangan.
Kedua, mekanisme magang di luar
Program Studi. Kebijakan magang tiga semester di luar program studi dan perguruan
tinggi merupakan kebijakan visioner Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memperoleh pengalaman ilmiah dan
profesional serta bersosialisasi. Pada tingkat praktis, universitas swasta
kecil atau universitas di daerah terpencil atau geografis yang sangat tidak
menguntungkan menimbulkan beberapa masalah. Selain masalah mekanisme kerjasama
antara program gelar dan universitas dan program gelar besar (terkait dengan
tingkat akreditasi) dan institusi besar, ada pertanyaan tentang mekanisme
pendanaan program gelar dan kegiatan
magang mahasiswa. Sebagian besar
perguruan tinggi dan program gelar dalam kategori di atas memiliki siswa dengan
silsilah menengah hingga rendah, dan pendanaan magang merupakan masalah utama.
Kegiatan magang setidaknya membutuhkan biaya perjalanan dan pengeluaran untuk
menunjang kegiatan lainnya.
Ketiga, dalam RUU sisdiknas pada Pasal Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2022 menyatakan bahwa PTN memberikan
tiga pilihan penerimaan mahasiswa, yaitu seleksi berbasis seleksi nasional,
seleksi berbasis ujian nasional, dan seleksi mandiri PTN. Peraturan tersebut
tentu menimbulkan ketidakadilan karena tidak sesuai dengan rasio penerimaan
mahasiswa baru, terlebih PTS yang bisa dikatakan bergantung hidup dari jumlah
mahasiswa. Hal ini tentu perlu ditinjau ulang demi terciptanya keadilan yang
merata baik untuk PTN maupun PTS. Jadi, lebih baik seleksi secara mandiri
dihapuskan meskipun seleksi secara mandiri PTN dilakukan berdasarkan seleksi
akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial, namun belum ada sanksi
bagi PTN bila melakukan pelanggaran.
Keempat, dengan adanya kebijakan MBKM memunculkan yang dinamakan Lembaga Akreditasi Mandiri. Hal ini sangat membebani banyak PTS terutama PTS kecil, karena PTS harus membayar pelaksanaan akreditasi dengan dana yang cukup besar. PTS dengan dana yang terbatas maka akan terganggu pada proses akreditasi sehingga mengakibatkan pelaksanaan MBKM juga terganggu.
Kendala-kendala dalam hal implementasi MBKM, perlu dicari solusi agar kebijakan MBKM dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, berikut adalah solusi yang ditawarkan : (1)Pemerintah perlu mendukung semua PTS yang ada, terutama dari segi pengganggaran. (2)Perlu diatur mekanisme kolaborasi yang jelas dan berkeadilan karena yang terjadi di lapangan, PTS kecil dengan anggaran yang terbatas masih dipandang tidak selevel dengan PTS yang besar, bahkan PTN karena dengan dana yang terbatas kegiatan peningkatan kualitas dari PTS akan terhambat. (3)Penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri pada PTN seharusnya dihapuskan, karena dapat menimbulkan polemik dan mematikan PTS kecil. (4) Perlunya dukungan pemerintah dalam hal sistem akreditasi saat ini, sistem akreditasi dengan Lembaga Akreditasi Mandiri berdampak pada terhambatnya pelaksanaan proses akreditas PTS itu sendiri.
Pada intinya, program yang dijanjikan di kampus merdeka belum banyak yang terwujud, baik dari kebebasan pembukaan program studi baru sampai pada memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi. Namun, terdapat keuntungan yang dirasakan mahasiswa peserta MBKM yaitu dapat meningkatkan kompetensi dan pengalaman baru karena dapat mengambil beberapa mata kuliah pada perguruan tinggi lain. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan MBKM masih dalam jaringan dan berjalan dengan dana APBN meskipun mahasiswa tersebut tetap membayar SPP di perguruan tinggi masing-masing.
Akan berbeda cerita apabila MBKM dilaksanakan secara mandiri, mahasiswa akan membayar SPP sejumlah yang ditentukan oleh kampus yang dituju, selain itu juga menyiapkan dana untuk tempat tinggal dan biaya hidup. Lalu, dampaknya bagi PTS kecil adalah mahasiswa akan memilih kampus luar yang lebih besar dan hal ini dapat mengurangi pemasukan yang bersumber dari SPP mahasiswa.
Jadi, secara umum, ide MBKM ini memang bagus karena hendak memberikan kebebasan dan otonomi lembaga pendidikan, membebaskannya dari birokrasi yang kompleks, dan memberi mahasiswa kebebasan untuk memilih bidang pilihan mereka. Namun, kembali lagi, perlu sinkronisasi. Hal ini bertujuan untuk mendegradasi pesimistis yang terjadi pada masyarakat akademis karena selama ini setiap ganti pemerintahan akan berganti pula ide dan gagasan yang baru.
Penulis:
Rina Ari Rohmah, M.Pd., Mahasiswa S3 Pendidikan Program Doktor Universitas Riau dan juga Dosen di Universitas Pasir Pengaraian.